Pages

Senin, 30 Juli 2012

"Iya"

Ada rasa debar yang lebih saat kukatakan, "iya". Satu kata namun punya kekuatan dasyat yang membuat rasa ketakutan, bahagia, dan beban. " oke deh," katanya, tanda perbincangan inti kami sudah selesai. Ini adalah sesuatu yang dari dulu aku gembor-gemborkan sebagai keingin, "kepengen". Ya, dulu, masih dalam tingkatan ingin yang terhambat dengan satu hal saja. Sampai sekarang pun, masih kebingungan menyelesaikan hambatan itu. Namun, tiba-tiba saja ada-ada saja yang mendorongku semakin dekat dengan keinginanku. Walaupun aku tidak cukup punya percaya diri.
Tidak, aku harus punya percaya diri, harus punya optimisme, harus yakin kalau bisa. Oleh karena itu aku berani meng-iya-kannya. Tentunya dengan konsekuensi yang ada. Konsekuensi yang bukan main beratnya. Yah, Bismillah saja. Siapa tahu ini pintu menuju jalanku. Yang terbuka sendirinya tanpa kupunya kuncinya dan tanpa perlu ku dobrak untuk membukanya. Hany perlu memulai melangkah, bukan? :) Rumah, 30 Juli 2012.

Jumat, 13 Mei 2011

Kebenaran Pikiran #3

Saat ini aku sedang berada di tengah teman-temanku yang sibuk memperhatikan tentor menerangkan kimia bab struktur atom. Memang aku kelas tiga ini mengikuti bimbel untuk menunjang prestasiku yang akhir-akhir ini turun. Entah karena apa pelan-pelan prestasiku mulai merosot. Padahal dulu, tanpa mengikuti bimbel ataupun privat sekalipun , aku selalu berani bersaing dijajaran tiga besar. Tapi tanpa aku tahu sebab yang pasti semua seakan hilang begitu saja. Semangat belajar, semangat bersaing, ataupun semangat menjadi yang terbaik seakan pasang surut. Kadang memuncak, dan kadang tenggelam habis begitu saja. Yah seperti itulah aku yang sekarang. Apalagi setelah mengikuti bimbel ini. Aku seakan menyerahkan semua pelajaranku pada bimbel. Tak ada acara mengulang pelajaran ataupun belajar sendiri di rumah.
Di bimbel suasananya agak tenang, aku duduk di depan bersama temanku. Aku memperhatikan dengan seksama apa saja yang diajarkan disana. Tak lama Awan yang awalnya duduk dibelakang dengan Putra pindah disampingku dan temanku. Ternyata mereka berdua tidak membawa modul dari bimbel. Jadinya mereka mau tidak mau harus nimbrung ikut dengan buku kami.
Setelah beberapa saat tentor yang sejak tadi menerangkan, memberi kami kesempatan menulis apa yang tadi beliau sampaikan. Di saat itu pula Awan menanyakan sesuatu.
“Nanti kamu ada acara?” tanyanya sambil menengok kearahku.
“gag, emang kenapa?’ jawabku tanpa memalingkan muka dan masih meneruskan menyalin dari papan tulis.
“gag , nanti kamu mau ikut aku?” Tanyanya lagi dan dia kembali meneruskan menyalin.
“emang kemana ?” tanyaku
“ke rumah temen.”
“temenmu?” tanyaku heran, ngapain juga aku diajak.
“temen kita. Ada urusan dikit.”
“temen kita sapa yah? Urusan apa?”, aku semakin bingung
“Hida… nanti tak jelasin.”, jawabnya. Aku cuma begumam dan sempat melirik kearah Awan sebentar.
Dalam hati, aku penasaran setengah mati. Kerumahnya Hida? ngapain dia kerumahnya Hida. Lagipula ada urusan apa. Aku sudah mulai menebak-nebak. Aku pun mulai gelisah dan tidak konsen dengan apa yang sedang diajarkan tentor kimiaku. Sebenarnya tak perlu segelisah ini kalau bukan Hida yang akan kita kunjungi. Tapi sekarang ini Hidalah orangnya. Bukannya aku tidak suka dengan teman cewekku yang satu ini. Tapi masalahnya dulu Awan pernah menaruh hati pada Hida dan ini yang membuatku merasa begini. Aku takut rasa mengganjal yang selama ini aku rasakan adalah sebuah kenyataan dan Awan sendiri masih mempertahankan rasanya itu pada Hida. Aku takut akan itu semua.
Untungnya Awan tidak menyadari apa yang sedang aku rasakan. Setahuku Awan memang pintar dalam membaca gerak-gerik orang sehingga dia dengan mudah menebak perasaan orang lain. Tapi lain untukku, agaknya dia agak kesusahan untuk membaca gerak-gerikku. Terbukti dia sering salah dalam menafsirkan apa yang aku rasakan. Karena setiap gerak-gerikku tidak mencerminkan apa yang sedang kurasakan. Seperti saat ini dia mungkin tidak menyadari aku yang sedang gelisah. Karena aku bisa mengimbangi pertanyaannya tentang apa yang dijelaskan tentor.
Seusai bimbel, aku, Awan, Putra, dan temanku satu lagi, Arif langsung pergi meninggalkan bimbel menuju rumah Hida. Aku membonceng Awan sedangkan Putra dan Arif naik motor sendiri-sendiri.
Ditengah jalan Awan menjelaskan duduk perkara kenapa sampai mereka pergi kerumah Hida. Mulanya dia menceritakan tentang teman sekelas kami, Omad yang memintanya memberitahukan rumah Hida sepulang renang kemarin. Tapi dengan sengaja Awan tidak memberitahukan alamat rumah Hida. Menurut dia itu hal yang aneh kenapa dengan tiba-tiba Omad memintanya memberitahukan rumah Hida. Mengapa Omad tidak bertanya langsung dengan Hida. Awan berprasangka kalau Omad mempunyai alasan terselubung dibalik semua ini. Entah itu dia ingin berbuat jahat atau apapun itu. Oleh karena itu Awan sengaja datang ke rumah Hida untuk membicarakan semua pendapatnya kepada Hida. Alasan dia mengajakku supaya aku tidak berpikiran buruk denganya.
Hatiku sendiri agaknya memberontak dengan semua alasan yang Awan beberkan tentang Hida. Banyak tanda tanya yang muncul dibenakku. Mulai dari hal kenapa sebegitu perhatianya dia dengan Hida sampai dengan sebegitukah rumitnya masalahnya. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang dilakukan Awan adalah benar. Namun tetap saja perasaanku tak bisa dibohongi. Aku yang tiba-tiba menjadi speechless saat itu hanya dapat berdiam diri selama sisa perjalanan kerumahnya Hida. Dan begitu sampai rumah Hida aku juga tak banyak bicara. Hanya terkadang sedikit ikut tertawa juga hingga urusan mereka selesai dan Awan mengantarku pulang.

***

Dan sore ini, Awan, seperti biasa mengantarkanku pulang dari bimbel. Sebelum dia tancap gas, dia selalu menyempatkan diri untuk sekedar ngobrol singkat denganku. Entah tentang apa saja terutama tentang aku dan dia.
Disaat seperti inilah aku tahu tentang segala sesuatu tentangnya. Tapi disaat yang sama rasa gelisahku muncul. Pikiranku selalu menebak-nebak apa yang akan dia bicarakan denganku. Aku seakan cemas akan kehilangan dia. Aku memikirkan segala kemungkinan terburuk tentang hubunganku dengan dia disaat seperti ini. Aku sebenarnya tidak mau dibayangi pikiran yang tidak-tidak. Namun pikiranku berkata lain. Ketika aku turun dari motornya, kemudian dia mematikan motornya. Dan dia mulai berbicara sesuatu dan mengatakan bahwa dia sudah tidak bisa mempertahankan hubungannya denganku. Lalu diteruskan dengan beberapa alasan apapun. Dan aku yang seakan tegar menerima semua alasanya. Padahal hatiku menangis, sakitnya bukan main. Kemudian dia menghidupkan motornya serta mengucapkan salam terakhirnya sebagai seorang special, dan pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung dengan hati yang begitu remuk. Seperti itulah setiap harinya bayangan buruk yang menghantuiku.
Bagitu juga sore ini, sesudah aku turun dari motornya. Awan mulai berbicara.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.” Dia mengawali pembicaraan kami. Aku mulai deg-degan. Akankah hari ini semua yang kutakutkan akan terjadi?
“ Apa?”, tanyaku singkat untuk menutupi rasa takutku.
“ Sebenarnya aku ingin jujur sesuatu.”, Tidak. Kata-kata seperti ini yang selama ini kubayangkan.”aku mau tanya dulu ma kamu, apa kamu tidak aneh kenapa dulu aku nembak kamu?”
“ Yah, aku sedikit merasa aneh, memang kenapa?” , tentu aneh. Apalagi dengan pertanyaanmu sekarang ini yang juga aneh untukku.
“ Mungkin kamu gag bakal percaya dengan apa yang aku katakan.” , cepat katakan. Jangan bikin aku mati penasaran disini. ”Aku dulu nembak kamu karena aku kasihan sama kamu, aku takut aja aku bakal nerima karma karena gag nanggepin kamu.”aku benar-benar terpukul. Jadi selama ini dia hanya kasihan denganku?. Akupun jadi lemas.” Apalagi kamu yang tertutup sama aku. Aku semakin bingung. Hampir aja aku mau mengakhiri semua. Tapi tiba-tiba kamu mulai mau terbuka denganku. Dan disaat itu. Kamu mau percaya atau gak, aku mulai ngerasa kamu special.”
Aku yang masih terbengong dengan pengakuan Awan, mau tidak mau harus memberi respon.
“ Oh..masak?? aku juga udah ngerasa agak aneh kenapa tiba-tiba kamu nembak aku”, respon yang luar biasa aneh. Kenapa aku ngerespon cuma begitu. Bodohnya.
“ Tadi aku kan udah bilang, terserah kamu mau percaya apa enggak. Tapi itu yang aku rasain.” Jawabnya dengan wajah yang serius. Seserius itukah dia.
Awanpun menghidupkan motornya dan pergi setelah mengucapkan salam. Pergi.


Kebenaran Pikiran #2

Selasa, 08 Maret 2011

Kebenaran Pikiran #2

Lanjutan dari kebenaran pikiran #1
------------------------------------------
Dan akhirnya dengan mengumpulkan seluruh keberanian dan membuang segala rasa gengi yang ada aku mulai mengsms dia. Tanpa basa-basi langsung kuketikkan ‘iya’ di layar handphoneku. Aku tak mau basa-basi lagi. Dia agaknya kebingungan dengan smsku tapi lama-kelamaan dia paham apa yang kumaksudkan. Kemudian dia mengulangi kembali kata-kata yang dia ucapkan dikelas waktu itu. Dia menyatakn perasaanya lagi lewat sms. Dan untuk menjawabnya aku di beri dua pilihan ‘ya’ berarti aku dapat tiket vierra dan ‘tidak’ berarti aku mandapat tiket nonton dmasiv. Tentunya sesuai niat awalku, ku jawab ya.
Nada di smsnya menunjukan kalau dia senang mendapat jawabanku. Bahkan dia sempat menanyakan itu serius atau tidak. Dia mengulangi apakah aku benar-benar yakin melepaskan tiket dmasiv. Akupun mengiyakan.
Sebenarnya rasa mengganjal kembali muncul. Dia memberi pilihan yang sangat aneh. Bukanya aku bilang nonton vierra ataupun dmasiv itu merupakan hal yang aneh. Tapi dia tahu aku sangat menyukai salah satu personil dmasiv. Seharusnya dia memberikan pilihan ‘ya’ untuk tiket dmasiv dan ‘tidak’ untuk tiket vierra. Itu kalau dia menginginkanku mengatakan iya tentunya. Namun seperti biasa. Olma gadis yang lebih suka membuang semua pikiran negatifnya atau kata lain dia membohongi dirinya sendiri.

***
Waktu berjalan begitu cepatnya. Begitu juga perjalanan cintaku dengan seorang Awan. Banyak hal yang masih belum aku mengerti dengan dia. Aku terkadang mau , sangat mau dia menceritakan semua tentang dirinya tanpa aku minta. Aku mau dia meminta pendapatku dikala dia sedang gundah. Namun tak semudah itu aku mendapat kepercayaan darinya untuk menjaga semua rahasianya.
Sebenarnya aku mungkin bisa memintanya untuk membuka diri padaku. Seperti halnya dia memintaku speak-up dan lebih terbuka denganya. Aku sendiri sudah lumayan mencoba membuka diri. Walaupun pada kenyataan, apa yang aku lakukan tak seberapa buatnya. Karena buatku melakukan satu hal itu sangat sulit, sedikit saja membuka diri rasanya akan membuatku lebih bingung dengan masalah yang aku hadapi. Rasanya masalahku akan lebih rumit. Memang setiap kali aku mengatakan masalahku dengan seseorang, secara otomatis masalah itu akan menjadi besar dengan sendirinya. Seperti halnya aku menebar pengembang pada adonan. Aku akan lebih punya beban. Dan aku merasa diriku akan mendramatisir semuanya. Entah aku akan menangis karena memikirkan masalahku sendiri yang sebenarnya tak terlalu besar. Berbeda dengan, jika aku lebih memilih menyimpan rapat-rapat masalahku. Rasanya sebesar apapun masalah itu akan lebih aku buat mudah. Tanpa harus menangis-nangis ria seperti anak kecil yang hanya kehilangan sebuah permen saja. Dengan begini aku lebih bisa tegar dan mandiri dalam menyelesaikan semua kendala yang ada di hidupku. Tapi dengan aku membuka diri dengan seseorang saja, setidaknya aku juga belajar untuk lebih mempercayai orang lain untuk menjaga rahasiaku.


-----------------
Masih lanjut Kebenaran Pikiran #3

Senin, 07 Maret 2011

Kebenaran Pikiran #1

Menemukan file lama yang tidak terurus. Daripada nganggur. Mending saya posting aja. ----------------------------------------------------
Entah aku harus senang atau malah sedih, aku tak tahu apa yang harus aku rasakan. Ini sebuah bencana atau malah karunia. Tapi setahuku sekarang ini harusnya aku merasa senang karena apa yang selama ini kupendam dan bahkan aku sendiri tak berharap rasa ini akan terbalas , cukup dengan aku yang merasakan, semua jadi nyata. Tanpa di duga dia tiba-tiba menawarkan sebuah hubungan lebih padaku. Jujur, aku tak tahu apa yang ada di pikiranya sekarang. Aku sendiri punya beberapa pendapat tentang keputusanya yang begitu tak terduga.
1. Dia tak sungguh-sungguh denganku. Kenapa aku berani mengejudge seperti ini. Karena sebelumnya aku sempat mendengar pembicaraanya dengan putra, teman kelasku, kalau dirinya yakin bakal diterima dan dia tidak siap dengan segala konsekuensinya. Ini menimbulkan beribu tanda Tanya dibenakku. Walaupun bisa saja mereka tidak sedang membicarakanku tapi orang lain diluar sana. Namun, aku merasa yakin yang sedang mereka bicarakan tidak lain adalah aku. Dan akupun menganggapnya begitu. Kalimat yang terlontar dari mulutnya itu berarti bahwa dia tidak benar-benar menaruh hati padaku seperti diriku padanya.
2. Dia hanya melakukan ritual taruhan dengan temanya, disini yang ku maksudkan temanya lagi-lagi adalah Putra. Aku saja tak tahu kenapa sampai aku berfikir seperti itu. Padahal begitu-begitu, dia juga temanku yang tak mungkin menjadikan aku sebagai bahan taruhanya.
3. Dia hanya malu untuk mengungkapkanya. Malu, mungkin merupakan kata yang tepat untuk menyebut seseorang yang tak berani melakukan sesuatu yang baik didepan umum. Aku menganggap dia malu untuk menyatakan apa yang dia rasakan padaku. Tapi malu disini berarti lain. Malu disini berarti dia ragu-ragu. Aku sebagai temannya tahu watak aslinya. Dia bukanlah orang pemalu, apalagi peluang aku mengatakan ‘iya’ sangat besar karena dia sudah tahu aku memang mempunyai rasa lebih. Aku lihat, ini bukan malu tapi ini sebuah bentuk keraguan yang ada dihatinya.
Dari beberapa pendapat aku lebih memilih meyakini statemen nomor tiga, walaupun aku tahu pendapatku bahwa dia hanya sekedar malu untuk menyatakan perasaanya itu merupakan pendapat yang terlemah. Dan aku sadar betul aku berusaha untuk membohongi diriku sendiri supaya aku punya alasan untuk menerimanya.

***
“ Olma, katanya, awan udah nyatain perasaanya yah?” , Tanya Nisa. Aku yang masih duduk dibangkuku cuman tersenyum. Aku enggan menjawabnya.
“terus udah kamu terima?”, tanyanya kembali sambil merapatkan diri dengan meja depanku.
“belum,hihihi” aku cengengesan.
“loh kenapa belum kamu terima?, emang kamu gag suka?” dia menggeser dudukku.
“ suka, tapi aku gag tahu gimana cara bilang iya sama dia.”
“bilang aja langsung ma dia, tapi kalo kamu malu yah bilang aja lewat sms.”
“iya deh, nanti aku coba.” Jawabku sekenanya. Kemudian dia berdiri dari duduknya dan menyungut janggutku sambil berlalu.
Yah.. benar apa yang dikatakan Nisa tadi, kenapa aku tidak menerimanya. Tapi aku malu untuk mengatakanya. Walaupun aku hanya menuliskan jawabanku lewat sms, tapi tetap saja rasa gengsiku seakan menghantuiku. Aku tipe cewek yang mempunyai gengsi yang cukup besar. Jelas, dengan rasa gengsiku aku akan sulit untuk mengatakan iya atas tawaranya. Belum lagi ada rasa yang begitu mengganjal dihatiku.

Berlanjut Kebenaran Pikiran #2