Pages

Senin, 07 Maret 2011

Kebenaran Pikiran #1

Menemukan file lama yang tidak terurus. Daripada nganggur. Mending saya posting aja. ----------------------------------------------------
Entah aku harus senang atau malah sedih, aku tak tahu apa yang harus aku rasakan. Ini sebuah bencana atau malah karunia. Tapi setahuku sekarang ini harusnya aku merasa senang karena apa yang selama ini kupendam dan bahkan aku sendiri tak berharap rasa ini akan terbalas , cukup dengan aku yang merasakan, semua jadi nyata. Tanpa di duga dia tiba-tiba menawarkan sebuah hubungan lebih padaku. Jujur, aku tak tahu apa yang ada di pikiranya sekarang. Aku sendiri punya beberapa pendapat tentang keputusanya yang begitu tak terduga.
1. Dia tak sungguh-sungguh denganku. Kenapa aku berani mengejudge seperti ini. Karena sebelumnya aku sempat mendengar pembicaraanya dengan putra, teman kelasku, kalau dirinya yakin bakal diterima dan dia tidak siap dengan segala konsekuensinya. Ini menimbulkan beribu tanda Tanya dibenakku. Walaupun bisa saja mereka tidak sedang membicarakanku tapi orang lain diluar sana. Namun, aku merasa yakin yang sedang mereka bicarakan tidak lain adalah aku. Dan akupun menganggapnya begitu. Kalimat yang terlontar dari mulutnya itu berarti bahwa dia tidak benar-benar menaruh hati padaku seperti diriku padanya.
2. Dia hanya melakukan ritual taruhan dengan temanya, disini yang ku maksudkan temanya lagi-lagi adalah Putra. Aku saja tak tahu kenapa sampai aku berfikir seperti itu. Padahal begitu-begitu, dia juga temanku yang tak mungkin menjadikan aku sebagai bahan taruhanya.
3. Dia hanya malu untuk mengungkapkanya. Malu, mungkin merupakan kata yang tepat untuk menyebut seseorang yang tak berani melakukan sesuatu yang baik didepan umum. Aku menganggap dia malu untuk menyatakan apa yang dia rasakan padaku. Tapi malu disini berarti lain. Malu disini berarti dia ragu-ragu. Aku sebagai temannya tahu watak aslinya. Dia bukanlah orang pemalu, apalagi peluang aku mengatakan ‘iya’ sangat besar karena dia sudah tahu aku memang mempunyai rasa lebih. Aku lihat, ini bukan malu tapi ini sebuah bentuk keraguan yang ada dihatinya.
Dari beberapa pendapat aku lebih memilih meyakini statemen nomor tiga, walaupun aku tahu pendapatku bahwa dia hanya sekedar malu untuk menyatakan perasaanya itu merupakan pendapat yang terlemah. Dan aku sadar betul aku berusaha untuk membohongi diriku sendiri supaya aku punya alasan untuk menerimanya.

***
“ Olma, katanya, awan udah nyatain perasaanya yah?” , Tanya Nisa. Aku yang masih duduk dibangkuku cuman tersenyum. Aku enggan menjawabnya.
“terus udah kamu terima?”, tanyanya kembali sambil merapatkan diri dengan meja depanku.
“belum,hihihi” aku cengengesan.
“loh kenapa belum kamu terima?, emang kamu gag suka?” dia menggeser dudukku.
“ suka, tapi aku gag tahu gimana cara bilang iya sama dia.”
“bilang aja langsung ma dia, tapi kalo kamu malu yah bilang aja lewat sms.”
“iya deh, nanti aku coba.” Jawabku sekenanya. Kemudian dia berdiri dari duduknya dan menyungut janggutku sambil berlalu.
Yah.. benar apa yang dikatakan Nisa tadi, kenapa aku tidak menerimanya. Tapi aku malu untuk mengatakanya. Walaupun aku hanya menuliskan jawabanku lewat sms, tapi tetap saja rasa gengsiku seakan menghantuiku. Aku tipe cewek yang mempunyai gengsi yang cukup besar. Jelas, dengan rasa gengsiku aku akan sulit untuk mengatakan iya atas tawaranya. Belum lagi ada rasa yang begitu mengganjal dihatiku.

Berlanjut Kebenaran Pikiran #2

0 comments:

Posting Komentar