Pages

Jumat, 13 Mei 2011

Kebenaran Pikiran #3

Saat ini aku sedang berada di tengah teman-temanku yang sibuk memperhatikan tentor menerangkan kimia bab struktur atom. Memang aku kelas tiga ini mengikuti bimbel untuk menunjang prestasiku yang akhir-akhir ini turun. Entah karena apa pelan-pelan prestasiku mulai merosot. Padahal dulu, tanpa mengikuti bimbel ataupun privat sekalipun , aku selalu berani bersaing dijajaran tiga besar. Tapi tanpa aku tahu sebab yang pasti semua seakan hilang begitu saja. Semangat belajar, semangat bersaing, ataupun semangat menjadi yang terbaik seakan pasang surut. Kadang memuncak, dan kadang tenggelam habis begitu saja. Yah seperti itulah aku yang sekarang. Apalagi setelah mengikuti bimbel ini. Aku seakan menyerahkan semua pelajaranku pada bimbel. Tak ada acara mengulang pelajaran ataupun belajar sendiri di rumah.
Di bimbel suasananya agak tenang, aku duduk di depan bersama temanku. Aku memperhatikan dengan seksama apa saja yang diajarkan disana. Tak lama Awan yang awalnya duduk dibelakang dengan Putra pindah disampingku dan temanku. Ternyata mereka berdua tidak membawa modul dari bimbel. Jadinya mereka mau tidak mau harus nimbrung ikut dengan buku kami.
Setelah beberapa saat tentor yang sejak tadi menerangkan, memberi kami kesempatan menulis apa yang tadi beliau sampaikan. Di saat itu pula Awan menanyakan sesuatu.
“Nanti kamu ada acara?” tanyanya sambil menengok kearahku.
“gag, emang kenapa?’ jawabku tanpa memalingkan muka dan masih meneruskan menyalin dari papan tulis.
“gag , nanti kamu mau ikut aku?” Tanyanya lagi dan dia kembali meneruskan menyalin.
“emang kemana ?” tanyaku
“ke rumah temen.”
“temenmu?” tanyaku heran, ngapain juga aku diajak.
“temen kita. Ada urusan dikit.”
“temen kita sapa yah? Urusan apa?”, aku semakin bingung
“Hida… nanti tak jelasin.”, jawabnya. Aku cuma begumam dan sempat melirik kearah Awan sebentar.
Dalam hati, aku penasaran setengah mati. Kerumahnya Hida? ngapain dia kerumahnya Hida. Lagipula ada urusan apa. Aku sudah mulai menebak-nebak. Aku pun mulai gelisah dan tidak konsen dengan apa yang sedang diajarkan tentor kimiaku. Sebenarnya tak perlu segelisah ini kalau bukan Hida yang akan kita kunjungi. Tapi sekarang ini Hidalah orangnya. Bukannya aku tidak suka dengan teman cewekku yang satu ini. Tapi masalahnya dulu Awan pernah menaruh hati pada Hida dan ini yang membuatku merasa begini. Aku takut rasa mengganjal yang selama ini aku rasakan adalah sebuah kenyataan dan Awan sendiri masih mempertahankan rasanya itu pada Hida. Aku takut akan itu semua.
Untungnya Awan tidak menyadari apa yang sedang aku rasakan. Setahuku Awan memang pintar dalam membaca gerak-gerik orang sehingga dia dengan mudah menebak perasaan orang lain. Tapi lain untukku, agaknya dia agak kesusahan untuk membaca gerak-gerikku. Terbukti dia sering salah dalam menafsirkan apa yang aku rasakan. Karena setiap gerak-gerikku tidak mencerminkan apa yang sedang kurasakan. Seperti saat ini dia mungkin tidak menyadari aku yang sedang gelisah. Karena aku bisa mengimbangi pertanyaannya tentang apa yang dijelaskan tentor.
Seusai bimbel, aku, Awan, Putra, dan temanku satu lagi, Arif langsung pergi meninggalkan bimbel menuju rumah Hida. Aku membonceng Awan sedangkan Putra dan Arif naik motor sendiri-sendiri.
Ditengah jalan Awan menjelaskan duduk perkara kenapa sampai mereka pergi kerumah Hida. Mulanya dia menceritakan tentang teman sekelas kami, Omad yang memintanya memberitahukan rumah Hida sepulang renang kemarin. Tapi dengan sengaja Awan tidak memberitahukan alamat rumah Hida. Menurut dia itu hal yang aneh kenapa dengan tiba-tiba Omad memintanya memberitahukan rumah Hida. Mengapa Omad tidak bertanya langsung dengan Hida. Awan berprasangka kalau Omad mempunyai alasan terselubung dibalik semua ini. Entah itu dia ingin berbuat jahat atau apapun itu. Oleh karena itu Awan sengaja datang ke rumah Hida untuk membicarakan semua pendapatnya kepada Hida. Alasan dia mengajakku supaya aku tidak berpikiran buruk denganya.
Hatiku sendiri agaknya memberontak dengan semua alasan yang Awan beberkan tentang Hida. Banyak tanda tanya yang muncul dibenakku. Mulai dari hal kenapa sebegitu perhatianya dia dengan Hida sampai dengan sebegitukah rumitnya masalahnya. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang dilakukan Awan adalah benar. Namun tetap saja perasaanku tak bisa dibohongi. Aku yang tiba-tiba menjadi speechless saat itu hanya dapat berdiam diri selama sisa perjalanan kerumahnya Hida. Dan begitu sampai rumah Hida aku juga tak banyak bicara. Hanya terkadang sedikit ikut tertawa juga hingga urusan mereka selesai dan Awan mengantarku pulang.

***

Dan sore ini, Awan, seperti biasa mengantarkanku pulang dari bimbel. Sebelum dia tancap gas, dia selalu menyempatkan diri untuk sekedar ngobrol singkat denganku. Entah tentang apa saja terutama tentang aku dan dia.
Disaat seperti inilah aku tahu tentang segala sesuatu tentangnya. Tapi disaat yang sama rasa gelisahku muncul. Pikiranku selalu menebak-nebak apa yang akan dia bicarakan denganku. Aku seakan cemas akan kehilangan dia. Aku memikirkan segala kemungkinan terburuk tentang hubunganku dengan dia disaat seperti ini. Aku sebenarnya tidak mau dibayangi pikiran yang tidak-tidak. Namun pikiranku berkata lain. Ketika aku turun dari motornya, kemudian dia mematikan motornya. Dan dia mulai berbicara sesuatu dan mengatakan bahwa dia sudah tidak bisa mempertahankan hubungannya denganku. Lalu diteruskan dengan beberapa alasan apapun. Dan aku yang seakan tegar menerima semua alasanya. Padahal hatiku menangis, sakitnya bukan main. Kemudian dia menghidupkan motornya serta mengucapkan salam terakhirnya sebagai seorang special, dan pergi meninggalkanku yang masih berdiri mematung dengan hati yang begitu remuk. Seperti itulah setiap harinya bayangan buruk yang menghantuiku.
Bagitu juga sore ini, sesudah aku turun dari motornya. Awan mulai berbicara.
“Aku ingin mengatakan sesuatu.” Dia mengawali pembicaraan kami. Aku mulai deg-degan. Akankah hari ini semua yang kutakutkan akan terjadi?
“ Apa?”, tanyaku singkat untuk menutupi rasa takutku.
“ Sebenarnya aku ingin jujur sesuatu.”, Tidak. Kata-kata seperti ini yang selama ini kubayangkan.”aku mau tanya dulu ma kamu, apa kamu tidak aneh kenapa dulu aku nembak kamu?”
“ Yah, aku sedikit merasa aneh, memang kenapa?” , tentu aneh. Apalagi dengan pertanyaanmu sekarang ini yang juga aneh untukku.
“ Mungkin kamu gag bakal percaya dengan apa yang aku katakan.” , cepat katakan. Jangan bikin aku mati penasaran disini. ”Aku dulu nembak kamu karena aku kasihan sama kamu, aku takut aja aku bakal nerima karma karena gag nanggepin kamu.”aku benar-benar terpukul. Jadi selama ini dia hanya kasihan denganku?. Akupun jadi lemas.” Apalagi kamu yang tertutup sama aku. Aku semakin bingung. Hampir aja aku mau mengakhiri semua. Tapi tiba-tiba kamu mulai mau terbuka denganku. Dan disaat itu. Kamu mau percaya atau gak, aku mulai ngerasa kamu special.”
Aku yang masih terbengong dengan pengakuan Awan, mau tidak mau harus memberi respon.
“ Oh..masak?? aku juga udah ngerasa agak aneh kenapa tiba-tiba kamu nembak aku”, respon yang luar biasa aneh. Kenapa aku ngerespon cuma begitu. Bodohnya.
“ Tadi aku kan udah bilang, terserah kamu mau percaya apa enggak. Tapi itu yang aku rasain.” Jawabnya dengan wajah yang serius. Seserius itukah dia.
Awanpun menghidupkan motornya dan pergi setelah mengucapkan salam. Pergi.


Kebenaran Pikiran #2